Senin, 12 Maret 2012

Resume Membaca II


BAB  I
MODEL MEMBACA

Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)

            Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks.
            Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
            Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.

Model Membaca Interaktif

            Model ini merupakan kombinasi antara pemahaman model membaca atas bawah dan model membaca bawah atas. Pada model interaktif, pembaca mengadopsi pendekatan model membaca atas bawah untuk memprediksi makna, kemudian beralih ke pendekatan model membaca bawah atas untuk menguji apakah hal itu benar-benar dikatakan oleh penulis. Artinya, kedua model tersebut terjadi secara stimultan pada saat membaca.
            Penganut teori ini memandang bahwa kegiatan membaca merupakan suatu interaksi antara pembaca dengan teks. Dengan teori itu, dijelaskan bagaimana seorang pembaca menguasai, menyimpan dan mempergunakan pengetahuan dalam format skemata. Kegiatan membaca adalah proses membuat hubungan yang berarti bagi informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (skemata).
            Menurut pandangan interaktif, membaca diawali dengan formulasi tentang hipotesis tentang makna, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan makna huruf, kata, dan kalimat dalam bacaan. Model interaktif adalah model membaca yang menggunakan secara serentak antara pengetahuan informasi grafik dan informasi yang ada dalam pikiran pembaca.
            Proses membaca menurut pandangan interaktif adalah proses intelektual yang kompleks, mencakup dua kemampuan utama, yaitu kemampuan memahami makna kata dan kemampuan berpikir tentang konsep verbal (Rubin, 1982). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa ketika proses membaca berlangsung, terjadi konsentrasi dua arah pada pikiran pembaca dalam waktu yang bersamaan. Dalam melakukan aktivitas membaca, pembaca secara aktif merespon dan mengungkapkan bunyi tulisan dan bahasa yang digunakan oleh penulis. Selain itu, pembaca dituntut untuk dapat mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya atau makna yang ingin disampaikan oleh penulis melalui teks yang dibacanya.
            Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa membaca pemahaman merupakan proses aktif yang di dalamnya melibatkan banyak faktor. Keterlibatan faktor-faktor itu bertujuan untuk memperoleh pemahaman melalui proses interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam peristiwa membaca.
           
Model membaca cepat

            Sebelum berlatih membaca cepat, kita harus paham beberapa model membaca cepat. Ada tiga model yang biasa digunakan dalam membaca cepat, yaitu:

1. Model line by line
            Model line by line atau sering disebut model garis per garis. Membaca model ini kata-kalimat dalam bahan bacaan dibaca secara berurutan dari baris pertama hingga baris terakhir secara beurutan.
            Model ini biasanya digunakan untuk bacaan yang bersifat padat, materi bacaan yang relative baru (masih asing), atau banyak menggunakan kata-kata atau istilah asing.

2. Model Spiral
            Membaca cepat Model Spiral. Ketika membaca kita tidak membaca seluruh isi bacaan, tetapi dibaca secara gigzag seperti spiral. Penggabungan kata/kalimat dalam bacaan menggunakan rasio dan pemikiran kita, sehingga kita mengimpulkan sendiri dari kata-kata kunci yang dibaca.

3. Model Melingkar
            Model melingkar atau mencari kata kunci. Di sini pembaca tidak membaca semua kata/kalimat dalam bacaan tetapi dicari kata kunci (key word). Kata-kata kunci ini menjadi acuan untuk memahami isi bacaan dan dihubungkan melalui logika dan pemikiran si pembaca.
            Model ini biasanya digunakan untuk membaca informasi yang sifatnya ringan. Misalnya membaca koran, majalah, dll.

Teknik membaca cepat

            Untuk bisa membaca cepat memang perlu teknik tertentu. Secara umum ada dua teknik membaca yaitu:

1. Teknik Scanning
            Teknik membaca scanning adalah membaca suatu informasi dimana bacaan tersebut dibaca secara loncat-loncat dengan melibatkan asosiasi dan imajinasi, sehingga dalam memahami bacaan tersebut kita dapat menghubungkan kalimat yang satu dengan kata-kata sendiri. Jadi dalam teknik ini tidak seluruh kata/kalimat dibaca. Biasanya kata-kata kunci yang menjadi perhatian pembaca. Sebagai gambaran nyata, teknik ini bias diilustrasikan seperti kita sedang membaca Koran, mencari judul-judul atau topic berita yang dianggap menarik.

2. Teknik Skimming
            Teknik membaca Skimming adalah membaca secara garis besar (sekilas) untuk mendapatkan gambaran umum isi buku. Setelah itu kita melacak informasi yang ingin kita ketahui secara mendalam. Untuk memperlancar proses skimming maka lakukanlah terlebih dahulu membaca daftar isi, kata pengantar, pendahuluan, judul atau sub judul, serta kesimpulan. Dari bagian-bagian buku ini minimal kita bisa menafsirkan apa inti dari isi buku yang akan kita baca tersebut.
            Teknik ini biasanya dilakukan ketika kita mencari sesuatu yang khusus dalam teks. Sebagai gambaran teknik ini bisa diilustrasikan seperti kita mencari arti kata dalam kamus, atau mencari nomor telpon dalam buku telpon.

Langkah-langkah membaca cepat
            Sebelum melatih membaca cepat, kita perlu paham beberapa langkah membaca cepat, yaitu:

1. Langkah pertama adalah persiapan
            Tahap persiapan ini dimulai dengan membaca judul. Judul ini kita coba menafsirkannya sesuai dengan asosiasi dan imajinasi serta pengalaman yang telah kita alami. Kita bisa menafsirkan isi bacaan dari judul yang dibaca. Hubungkan pengalaman/wawasan yang kita miliki sengan judul bahan bacaan yang akan dibaca.
            Kemudian perhatikan gambar dan keterangan gambar dari materi yang akan dibaca. Biasanya gambar atau ilustrasi dalam buku mengilustrasikan isi bacaan. Oleh karena itu symbol visual ini dapat membantu kita memahami isi bacaan.
            Selanjutnya kita perlu memperhatikan huruf cetak tebal/huruf miring. Huruf yang dicetak berbeda ini melambangkan kata/kalimat penting dalam isi bacaan. Langkah selanjutnya adalah membaca alinea awal dan akhir. Alinea awal mengantarkan pembaca pada isi bacaan, sedangkan aliena akhir biasanya berupa pokok pikiran dari isi bacaan. Melalui aliena awal dan akhir ini dapat membantu kita menafsirkan keseluruhan isi bacaan. Kemudian kita perlu baca juga rangkuman bacaan.

2. Langkah kedua adalah pelaksanaan
            Jika kita telah melaksanakan tahap persiapan tadi, kita sudah bisa membayangkan gambaran umum isi bacaan dalam buku yang akan kita baca. Selanjutnya kita dapat memulai membaca cepat dengan menggunakan dua teknik tadi yaitu scaning dan skimming. Di sini kita bisa mencari kata-kata kunci yang ada dalam kalimat, selanjutnya dihubungkan melalui asosiasi dan imajinasi kita sehinga bisa dengan cepat mengambil inti sari isi bacaan tampa harus membaca seluruh isi buku .

Model Teori Bottom-Up

            Memandang bahwa bahasa yang mewadahi teks menentukan pemahaman. Secara fisik, ketika orang melakukan kegiatan membaca, yang dipandang adalah halaman-halaman bacaan yang posisinya di bawah (kecuali membaca sambil tiduran!). Secara literal, bottom-up berarti dari bawah ke atas. Maksudnya, makna itu berasal dari bawah (teks) menuju ke atas (otak/kepala). Secara harfiah, menurut teori ini teks-lah yang menentukan pemahaman.
            Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses kengkodean kembali simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan, dan unit bahasa lainnya.
            Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa (Harjasuna, 1996)
            Brown (2001) menyatakan bahwa pada proses bottom-up membaca terlebih dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem, suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana, kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan bermakna.
            Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks.

Model Teori Top-Down

            Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung.
            Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan.
            Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks.
            Inti dari model teori Top-down adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya,
            Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
            Jadi menurut teori Top-down dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.


BAB II
JENIS-JENIS DAN KARAKTERISTIK BACAAN

            Membaca adalah kegiatan berbahasa yang secara aktif menyerap informasi atau pesan yang disampaikan melalui media tulis, seperti buku, artikel, modul, surat kabar, atau media tulis lainnya. Disebut aktif karena membaca bukan sekedar memahami lambing-lambang tulis, tetapi juga membangun makna, memahami, menerima, menolak, membandingkan, dan meyakini isi tulisan.
           
            Menurut Kridalaksana, Bacaan dapat berarti apa-apa yang dibaca. Jenis-jenis bacaan dapat digolongkan berdasarkan bentuk bahasanya (jenis bacaan prosa dan puisi) dan subjek yang dikarang (jenis bacaan ilmiah dan nonilmiah).



Teks Ilmiah
            Teks ilmiah adalah karangan ilmiah yang didasarkan atas data yang faktual, kebenarannya dapat diandalkan atau dipercaya. Teks ilmiah terdiri dari teks ilmiah popular dan teks ilmiah akademik.

a.  Teks Ilmiah Populer
            Teks ilmiah popular berisi hal-hal yang diminati manusia pada umumnya. Bahasa teks ilmiah popular, terutama yang terdapat dalam surat kabar memiliki karakteristik yang khas yaitu bahasa jurnalistik. Ciri-cirinya yaitu sangat praktis, sebab efisien dan efektif (Siregar,1992:7). Struktur teks ilmiah popular yang terdapat dalam surat kabar menurut B.H. Hoed (dalam Sihombing 1994:131) dinyatakan dalam 5 W + 1 H atau Who, What, When, Were, Why, dan How. Struktur tersebut dapat diabstraksikan dalam struktur piramida terbalik yaitu dimulai dari kesimpulan/fakta, dilanjutkan dengan penjelasan, dan diakhiri dengan perincian Para wartawan biasanya dalam menulis mengikuti alur siapa dan apa sebagai kesimpulan, bila dan di mana sebagai penjelas, serta mengapa dan bagaimana sebagai perincian.

b.  Teks Ilmiah Akademik
            Teks ilmiah akademik ditulis antara lain untuk memuaskan rasa keingin tahuan anggota masyarakat pembaca khususnya masyarakat cendikiawan. Teks ilmiah akademik berkeinginan untuk mendukung, menguji, dan menggunakan ilmu pengetahuan. Karangan ilmiah akademik dapat berupa kertas kerja/makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian(Soenardji dan Bambang Hartono, 1994:11). Dari segi bahasanya, teks ilmiah akademik memiliki sifat atau cirri ilmu pengetahuan, yaitu objektif, tidak berprasangka, tanpa penilaian atau pendapat pribadi, sistematis, kritis, logis, dan didasarkan pada suatu penilaian dalam hubungannya dengan sebuah teori (Fachrudin, 1988:209). Sedangkan dari segi struktur atau sistematikanya dibagi dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi, dan bagian akhir

Teks Nonilmiah
            Teks nonilmiah menyajikan fakta pribadi, peristiwa atau kejadian yang sifatnya subjektif dan menggunakan bahasa yang tidak baku Teks nonilmiah berupa teks susastra, yaitu teks hasil kerja kreatif pengarang. Teks sastra dibedakan atas teks sastra yang imajinatif dan nonimajinatif.

a.  Teks Sastra Imajinatif
            Teks sastra imajinatif memiliki ciri-ciri khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetik seni. Teks sastra imajinatif dapat berupa puisi, prosa (cerpen, nover/roman), dan drama.

b.  Teks Sastra non Imajinatif
            Teks karya sastra non imajinatif memiliki ciri lebih banyak unsur faktualnya daripada khayalinya, bahasanya cenderung denotatif, dan memenuhi syarat estetik seni. Teks sastra non imajinatif dapat berupa biografi, otobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.


BAB III
MANFAAT DAN PENERAPAN PROSEDUR KLOSE

            Dalam upaya pemilihan bahan, pertimbangan yang paling penting adalah faktor keterbacaan (readability). Tingkat keterbacaan harus serasi dengan tingkat kemampuan siswa. Formula-formula keterbacaan seperti: Reading Ease Formula (RE), Human Interest (HI), Dale and Chall (DAC), Fog Index (Fi), Grafik Fry, Grafik Raygon, dan (Cloze) prosedur klose dianggap praktis dan sederhana pemakaiannya.
            Metode yang dipandang paling berhasil di antara formula-formula tersebut adalah prosedur klose. Selain dapat dipergunakan sebagai alat untuk menguji keterbacaan, teknik ini juga sekaligus dapat dipergunakan untuk alat/teknik pengajaran membaca. Dalam fungsinya sebagai alat ajar membaca, prosedur isian rumpang ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan membaca siswa.
            Prosedur klose mula-mula diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1953) dengan nama 'cloze procedure'. Teknik ini diilhami oleh suatu konsep dalam ilmu jiwa Gestalt, yang dikenal sengan istilah 'clozure'. Konsep ini menjelaskan tentang kecenderungan manusia untuk menyempurnakan suatu pola yang tidak lengkap secara mental menjadi satu kesatuan yang utuh; kecenderungan untuk mengisi atau melengkapi sesuatu yang sesungguhnya ada namun tampak dalam keadaan yang tidak utuh; melihat bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan.
            Berdasarkan konsep tersebut Taylor mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur keterbacaan wacana yang diberinya nama 'cloze procedure'. Istilah itu selanjutnya kita namai sebagai 'prosedur/prosedur klose'.
            Taylor sendiri mendefinisikan prosedur yang ditemukannya itu sebagai, The cloze procedure as method of interpreting a massage from 'transmitter' (writer or speaker), mutilating its language patterns by deleting parts, anda so administering it to 'receiver' (reader and listener) that their attemps to make patterns whole again yield a considerable number of cloze units (Taylor dalam Robert, 1980:71).

            Secara bebas, maksud pernyataan di  atas kira-kira sebagai berikut. Prosedur klose merupakan metode penangkapan pesan dari sumbernya (penulis atau pembicara), mengubah pola bahasa dengan jalan melesapkan bagian-bagiannya, dan menyampaikannya kepada si penerima (pembaca dan penyimak) sehignga mereka berupaya untuk menyempurnakan kembali pola-pola keseluruhan yang menghasilkan sejumlah unit-unit kerumpangan yang dapat dipertimbangkan.
            Taylor menggambarkan prosedur klose sebagai metode yang dipergunakan untuk melatih daya tangkap pembaca/penyimak terhadap pesan/maksud penulis/pembicara dengan jalan menyajikan wacana yang tidak utuh (merumpangkan bagian-bagiannya), para pembaca/penyimak harus mampu mengolahnya menjadi sebuah pola yag utuh seperti wujudnya semula.
            Wilson Taylor (1953) sebagai pencipta teknik ini, mengusulkan sebuah prosedur yang baku untuk sebuah konstruksi klose, yaitu sebagai berikut:

1)      Memilih suatu wacana yang relatif sempurna yakni wacana yang tidak tergantung pada informasi sebelumnya.
2)      Melakukan penghilangan/pengosongan kata ke-n, tanpa memperhatikan arti dan fungsi kata-kata yang dihilangkan.
3)      Mengganti bagian-bagian yang dihilangkan tersebut dengan tanda garis lurus datar yang sama panjangnya.
4)      Memberi salinan (copy) dari semua bagian yang direproduksi kepada siswa/peserta test.
5)      Mengingatkan siswa untuk berusaha mengisi semua delisi dengan pertanyaan-pertanyaan dari konteks atau kata-kata sisanya.
6)      Menyediakan waktu yang relatif cukup untuk memberi kesempatan kepada siswa dalam menyelesaikan tugasnya.
           
            Selain Taylor ada beberapa ahli yang menyimpulkan tentang prosedur klose, seperti dijelaskan oleh Sadtono (1982:2) istilah 'clozure' mengandung makna sebagai persepsi (penglihatan dan pengertian) yang penuh atau komplit dari gambar atau keadaan yang sebenarnya tidak sempurna. Persepsi keadaan yang sempurna itu diperoleh dengan cara tidak menghiraukan bagian yang hilang atau bagian yang tidak sempurna itu; atau dengan cara mengisi sendiri bagian yang hilang atau kurang sempurna tadi berdasarkan pengalaman yang telah lampau.
            Kemudian Hittleman (1979:135) menjelaskan teknik isian rumpang sebagai sebuah teknik penghilangan kata-kata secara sistematis dari sebuah wacana, dan pembaca diharapkan dapat mengisi kata-kata yang hilang tersebut dengan kata-kata yang sesuai. Hittleman memandang prosedur klose ini sebagai alat untuk mengukur keterbacaan. Pandangan ini juga disokong oleh pendapat Heilman (1986).
            Selanjutnya John Haskall menyempurnakan konstruksi tersebut dengan variasi sebagai berikut:

1)      Memilih suatu teks yang panjangnya lebih kurang 250 kata.
2)      Biarkan kalimat pertama dan terakhir utuh.
3)      Mulailah penghilangan itu dari kalimat kedua, yakni pada setiap kata kelima. Pengosongan ditandai dengan garis lurus mendatar.
4)      Jika kebetulan kata kelima jatuh pada kata bilangan, janganlah melakukan delisi pada kata tersebut. Biarkan kata itu hadir secara utuh, sebagai gantinya mulailah kembali dengan hitungan kelima.

            Melalui prosedur klose pembaca diminta untuk dapat memahami wacana yang tidak lengkap (karena bagian-bagian tertentu dari wacana tersebut telah dengan sengaja dilenyapkan) dengan pemahaman yang sempurna. Bagian-bagian kata yang dihilangkan itu biasanya kata ke-n digantikan dengan tanda-tanda tertentu (garis lurus mendatar atau dengan tanda titik-titk). Penghilangan bagian-bagian kata-kata dalam prosedur/teknik isian rumpang mungkin juga tidak berdasarkan kata ke-n secara konsisten dan sistematis.
            Kadang-kadang pertimbangan lain turut menentukan kriteria pengosongan atau pelepasan kata-kata tertentu dalam wacana itu. Misalnya saja, kata kerja, kata benda, kata penghubung,atau kata-kata tertetntu yang dianggap penting, bisa juga merupakan kata yang dihilangkan. Tugas pembaca adalah mengisi bagian-bagain yang dihilangkan itu dengan kata yang dianggap tepat dan sesuai dengan tuntutan maksud wacana.
            Penggunaan prosedur klose tentunya bermanfaat. Teknik klose ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1)  Mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana untuk:
a)      Menguji tingkat kesukaran dan kemudahan bahan bacaan;
b)      Mengklasifikasikan tingkat baca siswa: pembaca independen, instruk-sional, atau frustasi; dan
c)      Mengetahui kelayakan wacana sesuai dengan peringkat siswa.

2)  Melatih keterampilan dan kemampuan baca siswa melalui kegiatan belajar-mengajar, pengajaran membaca melatih:
a)      Siswa menggunakan isyarat sintaksis
b)      Siswa menggunakan isyarat semantik
c)      Siswa menggunakan isyarat skematis
d)     Peningkatan kosa kata
e)      Daya nalar siswa dalam upaya pemahaman bacaan.

1 komentar:

  1. Cari JobSide buat tambahan jajan .... Inf BB : 5EE. 80. AFE :)

    BalasHapus