Jumat, 21 Oktober 2011

Bimpesdik

KERAGAMAN INDIVIDU
DALAM
KECAKAPAN DAN KEPRIBADIAN


            Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru mungkin akan dihadapkan dengan puluhan atau bahkan ratusan peserta didiknya, dengan masing-masing karakateristik yang dimilikinya. Di antara sekian banyak karakteristik yang dimiliki peserta didik, yang penting dan perlu diketahui guru adalah berkenaan dengan kecakapan dan kepribadian peserta didiknya.Dari segi kecepatan belajar, ada peserta didik yang menunjukkan cepat dalam menangkap pelajaran, namun sebaliknya ada juga yang sangat lambat. Dari segi kepribadian, guru akan berhadapan dengan ciri-ciri kepribadian para peserta didiknyanya yang khas atau unik.
            Berhadapan dengan peserta didik yang memiliki kecepatan belajar dan memiliki ciri-ciri kepribadian yang positif, guru mungkin akan menganggap seolah-olah tidak ada hambatan. Namun ketika berhadapan dengan peserta didik yang lambat dalam belajar atau ciri-ciri kepribadian yang negatif, adakalanya guru dibuat frustrasi. Ujung-ujungnya dia langsung saja akan menyimpulkan bahwa peserta didiklah yang salah. Peserta didik dianggap kurang rajin, bodoh, malas, kurang sungguh-sungguh dan sebagainya. Jika saja guru tersebut dapat memahami tentang keragaman individu, belum tentu dia akan langsung menarik kesimpulan bahwa peserta didiklah yang salah. Terlebih dahulu mungkin dia akan mempelajari latar belakang sosio-psikologis peserta didiknya, sehingga akan diketahui secara akurat kenapa peserta didik itu lambat dalam belajar, selanjutnya dia berusaha untuk menemukan solusinya dan menetukan tindakan apa yang paling mungkin bisa dilakukan agar peserta didik tersebut dapat mengembangkan perilaku dan pribadinya secara optimal.
                Membicarakan tentang keragaman individu secara luas dan mendalam sebetulnya sudah merupakan kajian tersendiri yaitu dalam bidang Psikologi Diferensial. Untuk kepentingan pengetahuan guru dalam memahami peserta didiknya, di bawah ini akan diuraikan dua jenis keragaman individu yaitu keragaman dalam kecakapan dan kepribadian.

1. Keragaman Individu dalam Kecakapan
            Kecakapan individu dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kecakapan nyata (actual ability) dan kecakapan potensial (potential ability).
            Kecakapan nyata (actual ability) yaitu kecakapan yang diperoleh melalui belajar (achivement atau prestasi), yang dapat segera didemonstrasikan dan diuji sekarang. Misalkan, setelah selesai mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di kelas), pada akhir perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen tentang materi yang disampaikannya (tes formatif). Ketika mahasiswa mampu menjawab dengan baik tentang pertanyaan dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan nyata (achievement).
            Kecakapan potensial merupakan aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri individu dan diperoleh dari faktor keturunan (herediter). Kecakapan potensial dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi atau kecerdasan) dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes).
            C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya berhubungan dengan aspek intelektual saja, seperti teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi kode “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific factor).
            Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
            Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu:
a. Operasi Mental (Proses Berfikir)
            1) Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi   yang baru).
            2) Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-      hari).
            3) Memory Recording (ingatan yang segera).
            4) Divergent Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
            5) Convergent Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan       jawaban/alternatif).
            6) Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat,             atau memadai).

b. Content (Isi yang Dipikirkan)
            1) Visual (bentuk konkret atau gambaran).
            2) Auditory.
            3) Word Meaning (semantic).
            4) Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan     notasi musik).
            5) Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan,    ekspresi muka atau suara).

c. Product (Hasil Berfikir)
            1) Unit (item tunggal informasi).
            2) Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
            3) Relasi (keterkaitan antar informasi).
            4) Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
            5) Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
            6) Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
            Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner (1993), mengemukakan teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya seperti tampak di bawah ini :

INTELIGENSI
KEMAMPUAN INTI
1. Logical – Mathematical
            Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional.
2. Linguistic
            Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
3. Musical
            Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
4. Spatial
            Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut.
5. Bodily Kinesthetic
            Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil.
6. Interpersonal
            Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
7. Intrapersonal
            Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.

            Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak.
            Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon — walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven. Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
            Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah :
Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ KATEGORI PERSENTASE
> 140 Jenius (Genius) 0.25 %
130-139 Sangat Unggul (Very Superior) 0.75 %
120-129 Unggul (Superior) 6 %
110-119 Diatas rata-rata (High Average) 13 %
90-109 Rata-rata (Average) 60 %
80 – 89 Dibawah Rata-Rata (Low Average) 13 %
70 – 79 Bodoh (Dull) 6 %
50 – 69 Debil (Moron) 0.75 %
25 – 49 Imbecil 0.20 %
<> Idiot 0.05 %

            Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator – indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
            Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test). Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
            Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
            Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan komitmen terhadap tugas, yaitu:
a. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);
b. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;
c. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis
d. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;
e. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
f. Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
g. Cermat atau teliti dalam mengamati;
h. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;
i. Mempunyai minat luas;
j. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;
k. Belajar dengan dan cepat;
l. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat;
m. Mampu berkonsentrasi;
n. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.

2. Keragaman Individu dalam Kepribadian
            Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian, tergantung sudut pandang masing-masing. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
            Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
            Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
            Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
a. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
b. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
c. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
d. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa.
e. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
f. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
            Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang sehat sampai dengan ciri-ciri kepribadian yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth Hurlock (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat atau tidak sehat, sebagai berikut :
KEPRIBADIAN YANG SEHAT
1. Mampu menilai diri sendiri secara realistik
2. Mampu menilai situasi secara realistik
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik
4. Menerima tanggung jawab
5. Kemandirian
6. Dapat mengontrol emosi
7. Berorientasi tujuan
8. Berorientasi keluar (ekstrovert)
9. Penerimaan sosial
10. Memiliki filsafat hidup
11. Berbahagia

KEPRIBADIAN YANG TIDAK SEHAT
1. Mudah marah
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh
10. Sulit tidur
11. Kurang rasa tanggung jawab
12. Sering mengalami pusing kepala
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
14. Pesimis
15. Kurang bergairah

                Berdasarkan uraian diatas kita dapat memahami bahwa ketika seorang guru berhadapan dengan peserta didiknya di kelas, dia dihadapkan dengan sejumlah keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki para peserta didiknya. Oleh karena itu, seyogyanya guru dapat memperlakukan peserta didik dan mengembangkan strategi pembelajaran, dengan memperhatikan aspek perbedaan atau keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki peserta didiknya. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan diri sesuai dengan kecepatan belajar dan karakteristik perilaku dan kepribadiannya masing-masing.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Keragaman dalam Kecakapan dan Kepribadian
            Timbulnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh bebagai faktor. Kendati demikian, para ahli sepakat bahwa pada dasarnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu :
a. Herediter; pembawaan sejak lahir atau berdasarkan keturunan yang bersifat kodrati, seperti : konstitusi dan struktur fisik, kecakapan potensial (bakat dan kecerdasan).
            Seberapa kuat pengaruh keturunan sangat bergantung pada besarnya kualitas gen yang dimiliki oleh orang tuanya (ayah atau ibu). Berdasarkan percobaannya dengan cara mengawinkan bunga merah dengan bunga putih, Gregor Mendel mengemukakan pandangannya, bahwa : (1) tiap-tiap sifat (traits) makhluk hidup itu dikendalikan oleh keturunan; (2) tiap-tiap pasangan faktor keturunan menentukan bentuk alternatif sesamanya, dan satu dari pada pasangan alternatif itu memegang pengaruh besar; dan (3) pada waktu proses pembentukan sel-sel kelamin, pasangan faktor keturunan itu memisah, dan tiap-tiap sel kelaminnya menerima salah satu faktor dari pasangan keturunan itu. Hasil percobaan Mendel ini menjelaskan kepada kita bahwa faktor keturunan memegang peranan penting bagi perilaku dan pribadi individu. Beberapa asas tentang keturunan di bawah ini akan memberikan gambaran pembanding kepada kita tentang apa-apa yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya :
1) Asas Reproduksi
            Menurut asas ini bahwa kecakapan (achievement) dari masing-masing ayah atau ibunya tidak dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Sifat-sifat atau ciri-ciri perilaku yang diturunkan orang tua kepada anaknya hanyalah bersifat reproduksi, yaitu memunculkan kembali mengenai apa yang sudah ada pada hasil perpaduan benih saja, dan bukan didasarkan pada perilaku orang tua yang diperolehnya melalui hasil belajar atau hasil berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Asas Variasi
            Bahwa penurunan sifat pembawaan dari orang tua kepada anak-anaknya akan bervariasi, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini disebabkan karena pada waktu terjadinya pembuahan komposisi gen berbeda-beda, baik yang berasal dari ayah maupun ibu. Oleh karena itu, akan didapati beberapa perbedaan sifat dan ciri-ciri perilaku individu dari orang yang bersaudara, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama, sehingga mungkin saja kakaknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ayahnya sedangkan adiknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ibunya atau sebaliknya.
3) Asas Regresi Filial
            Terjadi pensurutan sifat atau ciri perilaku dari kedua orangtua pada anaknya yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan pembawaan ayah dan ibunya, sehingga akan didapati sebagian kecil dari sifat-sifat ayahnya dan sebagian kecil pula dari sifat-sifat ibunya. Sedangkan perbandingannya mana yang lebih besar antara sifat-sifat ayah dan ibunya ini sangat tergantung kepada daya kekuatan tarik menarik dari pada masing-masing sifat keturunan tersebut.
4) Asas Jenis Menyilang
            Menurut asas ini bahwa apa yang diturunkan oleh masing-masing orang tua kepada anak-anaknya mempunyai sasaran menyilang jenis. Seorang anak perempuan akan lebih banyak memilki sifat-sifat dan tingkah laku ayahnya, sedangkan bagi anak laki-laki akan lebih banyak memilki sifat pada ibunya.
5) Asas konformitas
                Berdasarkan asas konformitas ini bahwa seorang anak akan lebih banyak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku yang diturunkan oleh kelompok rasnya atau suku bangsanya.Misalnya, orang Eropa akan menyerupai sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku seperti orang-orang Eropa lainnya dibandingkan dengan orang-orang Asia.

b. Environment; lingkungan tempat di mana individu itu berada dan berinteraksi, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pada pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya. Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :
1) Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial
            Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya. Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.
2) Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu
            Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
            Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :
a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.
b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengident C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya berhubungan dengan aspek intelektual saja, seperti teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi kode “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific factor).
            Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).ifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
d) Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

c. Maturity; kematangan yang mengacu pada tahap-tahap atau fase-fase perkembangan yang dijalani individu. Kematangan pada awalnya merupakan hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktural pada diri individu, seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, otot, syaraf dan kelenjar. Kematangan seperti ini disebut kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikis, seperti : kemampuan berfikir, emosi, sosial, moral, dan kepribadian, religius. Kematangan aspek psikis ini diperlukan adanya latihan dan belajar tertentu.


KESIMPULAN

            Kecakapan dan kepribadian setiap orang memang berbeda,dalam hal ini kecakapan dan kepribadian seseorang bisa di lihat dari sikap dan perilaku seseorang tersebut.

            Kecakapan dalam hal ini mungkin lebih memperlihatkan tentang sikap seseorang yang aktif dan kritis,cakap dalam hal ini seseorang tersebut mampu menangkap setiap hal yang yang sedang di bicarakan dan tidak segan-segan seseorang tersebut bisa ikut berpartisifasi untuk mengeluarkan pendapatnya.Soal kepribadian seseorang memang sangat rentang sekali karena hal ini menyangkut dengan pribadi seseorang tersebut,kepribadian seseorang tersebut bias di katakan baik atau jelek yaitu bisa di lihat dari sikap dan perilakunya sehari-hari.

            Jadi, kecakapan dan kepribadian seseorang bisa lebih baik itu tergantung dari masing-masing orang tersebut,bagaimana dan sebisa mungkin seseorang tersebut untuk bisa lebih mengoptimalkan kemampuannya dalam bidang akademik maupun dalam pergaulannya sehari-hari.





DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsuddin M.. 2000. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja R.
Nierinsane. 2010. “Keragaman Dalam Kecakapan Dan Kepribadian Serta Faktor-faktor yang Mempengaruhinya” dalam http://nierinsanewordpress.com/2010/03/28/ diunduh pada tanggal 31 Mei 2011
Sugihartono, dkk.. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press

Analisis Novel "Arvayuna" karya Rianna Wati

ANALISIS NOVEL
ARVAYUNA
KARYA RIANNA WATI



Abstract

          Story of the hardness of a man who lived with his wife who is not a perfect third. He became the ears, mouth, feet and eyes for his wives. With language that is very touching and full of wisdom. Rigidity that was brought to so many trials that seemed to test the strong-weak would a patience. With the first wife to be someone who can not disclose anything with his verbal and understands a sound with his hearing but literature works written in the form of novel and toughness to be excess. The second wife was present at the request of the first wife be an impossible to do something with the footsteps that can only be seated in a wheelchair but cold hands that caused the house like a paradise. And the third wife who was taken by the second wife who is a lovely girl who require eye because her life is dark. So brave of his wives so he should take the option of polygamy. Polygamy is an issue for her own psychology.

Key words:    Hardness, literature, novel, psychology


LATAR BELAKANG

          Karya sastra merupakan hasil aktivitas manusia yang hidup dalam masyarakat dengan segenap persoalan. Sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang meng-ekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, dan tanggapan perasaan penciptanya, tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan emosional.

          Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.

          Karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melengkapi kehidupan manusia. Permasalahan itu dapat berupa permasalahan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Karena itu, karya sastra memiliki dunia sendiri yang merupakan hasil dari pengamatan sastrawan terhadap kehidupan yang diciptakan itu sendiri baik berupa novel, puisi maupun drama yang berguna untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Dewantara mengungkapkan bahwa setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Manusia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan, dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya.

          Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan dicetak. Selain itu, sastra merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya nonfiksi. Perbedaan utama antara fiksi dan non fiksi terletak dalam tujuan dan sifat. Non fiksi bersifat aktualitas sedangkan fiksi bersifat realitas. Aktualitas adalah apa-apa yang benar-benar teerjadi sedangkan realitas adalah apa-apa yang dapat terjadi (tetapi belum terjadi). Fiksi sering pula disebut cerita rekaan hasil pengolahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ataupun pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan.

          Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

          Berdasarkan uraian di atas karya sastra juga masih ada hubungannya dengan psikologi. Hal ini tidak lepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Penelitian yang menggunakan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman atas penafsiran karya sastra dari sisi lain.

          Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan pertolongan psikologi. Andai kata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, ia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi moderen untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra.

          Novel Arvayuna dipilih karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel ini terletak pada ceritanya yakni tentang ketegaran yang dimiliki oleh Ardi sebagai tokoh utamanya. Bersama tiga istrinya yang tak sempurna. Ia menjadi telinga, mulut, kaki dan mata bagi istri-istrinya. Dan novel ini pun dikemas dengan bahasa yang menyentuh dan sarat hikmah.

          Ardi sebagai tokoh utama dalam novel ini juga memiliki kelebihan di balik semua kenyataan yang dialaminya. Orang-orang terutama sahabat-sahabatnya pada saat itu memprofilkan dirinya sebagai sosok yang religius, tampan, mapan dan berpendirian. Ia menjadi owner dari perusahaan panerbitan yang cukup ternama. Maka tak heran kalau materi bukan masalah untuk menafkahi para istrinya.

          Selain itu, pemahaman agamanya selama ini menuntunnya untuk menentukan istri yang benar-benar tepat. Setidaknya, tepat menurut dirinya yang menganggap pernikahan bukan hanya memuaskan kepentingan pribadi dan mereguk kebahagiaan. Namun dalam kerangka dakwah dan sosial, pernikahan haruslah memberi arti. Itulah sebabnya dia punya prinsip sendiri untuk urusan ini.

          Kelebihan yang dimikili oleh pengarang sendiri yakni pengarang dapat menggambarkan dengan detail setiap kejadian yang ada dengan menggunakan kata-kata yang bersifat esplisit, namun kita sebagai pembaca dapat ikut larut dan terbawa ke dalam kisah tersebut. Hingga kita dapat merasakan berada di dalamnya.

          Masalah yang menarik untuk dikaji dalam novel ini antara lain sebagai berikut. Perjalanan kisah hidup Ardi yang penuh dengan pilihan yang tak mudah untuk diputuskan serta berbagai kenyataan yang muncul dan harus dihadapinya dengan tegar membuat ia menjadi seorang yang berkepribadian kuat, tegar, dan mudah menyadarkan diri disaat Ia dihadapkan oleh godaan.

          Faktor psikologis Ardi mendominasi cerita dalam novel sampai ketika ia merasakan keinginan untuk mencari seorang wanita sempurna dan menjadi istrinya yang keempat. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh pada pendiriannya untuk tetap meminta restu kepada istri-istrinya.

          Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan alasan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.    Kehadiran Ardi sebagai tokoh utama dalam novel Arvayuna memberikan         gambaran tentang seorang pria yang sedang mencari jawaban atas semua pilihan      di dalam hidup dengan ketegaran yang dimilikinya.
2.    Sepengetahuan penulis, novel Arvayuna belum pernah dianalisis dengan          pendekatan psikologi sastra, terutama yang berhubungan dengan kepri-     badian tokoh utama.
3.    Analisis terhadap novel Arvayuna  dengan menggunakan pendekatan psikologi           sastra diperlukan untuk mengetahui kepribadian tokoh Ardi.
           
          Berdasarkan uraian di atas maka novel Arvayuna karya Rianna Wati dianalisis dengan tinjauan psikologi sastra untuk mengetahui kepribadian tokoh utamanya.


LANDASAN TEORI

Teori Struktural

          Pendekatan struktural merupakan sebuah pendekatan awal dalam penelitian sastra. Pendekatan struktural juga sangat penting bagi sebuah analisis karya sastra. Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur tersebut saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dalam sebuah karya sastra (Nawang, 2007: 14).

          Menurut Teeuw (1984: 121), strukturalisme sastra adalah pendekatan yang menekankan pada unsur-unsur dalam (segi intrinsik) karya sastra.

          Analisis struktur merupakan prioritas utama sebelum yang lain-lain. Tanpa analisis yang demikian kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dan karya sastra itu sendiri tidak akan tertangkap (Teeuw, 1984: 61). Tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secara cermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).

          Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Pegaturan diri dimaksudkan bahwa struktur itu dibentuk oleh kaidahkaidah intrinsik dari hubungan antarstruktur akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16).

          Adapun langkah-langkah analisis struktural adalah sebagai berikut:

a.    mengidentifikasikan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara           lengkap dan jelas, mana yang tema dan mana yang tokoh.
b.    mengkaji unsur-unsur yang telah diindentifikasikan sehingga diketahui tema,   alur, penokohan, dan latar dalam sebuah karya sastra, dan
c.    menghubungkan masing-masing unsur sehingga memperoleh kepaduan makna             secara menyeluruh dari sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2000: 36).

          Stanton (dalam Jabrohim, 1965: 12), mendiskripsikan bahwa unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita dan karya sastra. Tema adalah gagasan atau ide pokok yang mendasari karya sastra. Fakta cerita terdiri dari cerita, alur, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya tersiri dari sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imajinasi dan juga cara-cara memilih judul di dalam karya sastra. Fungsi karya sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami secara jelas.

a.    Tema

          Pengertian tema menurut Fananie (2000: 84) mengemukakan bahwa tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 70) mengungkapkan bahwa tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Jadi, pada dasarnya tema adalah ide, gagasan dasar yang terdapat dalam karya sastra.

b.    Alur

          Stanton (1965: 14) mengemukakan alur adalah cerita yang berisi kejadian tetapi tokoh-tokoh tersebut adalah unsur penting dalam sebuah cerita. Pentingnya unsur tersebut pada fungsi tokoh yang memainkan suatu peran sehingga cerita tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat dan peristiwa yang lain.

c.    Penokohan

          Tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra biasanya merupakan rekaan tetapi tokoh-tokoh tersebut adalah unsur penting dalam suatu cerita. Pentingnya unsur tersebut terletak pada fungsi tokoh yang memainkan suatu peran sehingga cerita tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2000: 165) mengungkapkan bahwa penokohan adalah gambaran tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dengan sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tikoh-tokoh tersebut. Jadi, penokohan merupakan gambaran terhadap tokoh-tokoh berdasarkan waktu atau karakternya yang dapat diketahui dari ciri fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

d.    Latar

          Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1990: 48). Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000: 26) mengemukakan bahwa latar mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.


Psikologi Sastra
         
          Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004: 344). Pada penelitian ini menggunakan cara yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah karya sstra sebagai objek penelitian, kemudian menentukan teoriteori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

          Siswantoro (2004: 31), menyatakan sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilakunya. Labih lanjut, Siswantoro (2004: 32) mengemukakan psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.

          Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri manusia dalam sastra adalah imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling melengkapi dan mengisi untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap kejiwaan manusia (Nawang, 2007: 23).

          Psikologi ditafsirkan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra secara tuntas. Dengan demikian, pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Darmanto, 1985: 164).

          Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi kajian penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya yang dinikmatinya serta proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks (Aminuddin, 1990: 89).

          Analisis novel Arvayuna karya Rianna Wati tinjauan psikologi sastra, menggunakan pendekatan tekstual yaitu mengkaji aspek psikologi tokoh utama dalam sebuah karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan gambaran kejiwaan manusia yang menciptakan karya sastra itu sendiri.


PEMBAHASAN

          Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.

          Novel ini menjadikan pendekatan psikologi sastra sebagai pengkaji utama unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Psikologi pada tokoh utama begitu terlihat disaat Ardi harus memutuskan apa yang menjadi kehendak istri-istrinya untuk menikahi seorang wanita buta dengan maksud berbagi kebahagiaan dengannya.

          Apa yang dirasakan Ardi ketiga Ia harus memutuskan semua itu?
Pada novel ini dijelaskan kalau permintaan itu teramat menyulitkan untuk Ardi, apalagi pernikahan itu kan menjadi pernikahannya yang ketiga. Hingga akhirnya Ardi menerima semuanya dengan psikologi yang terguncang tapi penuh dengan keikhlasan.
          Begitu jelas terlihat unsur kejiwaan yang berada di dalam novel tersebut hingga akhirnya penulis memutuskan bahwa novel ini dikaji lenih dalam menggunakan pendekatan psikologi sastra.


SIMPULAN

          Sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang meng-ekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, dan tanggapan perasaan penciptanya, tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan emosional. sastra merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya nonfiksi.

          Dengan mempelajari sastra kita akan mengenal yang namanya karya sastra. Karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melengkapi kehidupan manusia. Permasalahan itu dapat berupa permasalahan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Dari permasalahan tersebut, dibuatlah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut disebut novel. Novel memilki unsur-unsur di dalamnya, yang dapat terlihat dengan menggunakan sebuah analisis dengan menentukan pendekatan yang tepat dengan isi novel.
         
     Hasil analisis novel menunjukan bahwa pada novel yang berjudul Arvayuna karya Rianna Wati ini memiliki suatu aspek tentang kejiwaan, dimana keseluruhan isi novel dibahas dengan menggunakan pendekatan Psikologi Sastra. Hal atau bagian pada novel yang kentara dengan pendekatan yang diterapkan tersebut, bisa dilihat pada peristiwa ketika Ardi harus memutuskan apakah Ia harus mengambil jalan untuk berpoligami dengan istri yang tak sempurna.

Berikut ini kutipan yang menunjukan hal tersebut: “pilihan itu membuatku bagaikan mencari ikan yag paling indah di dalam lautan samudera yang luas. Aku benar-benar harus memilih.” (Bagian.1, Bab. 5, Hal.87)



DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Sekitar masalah sastra (beberapa prinsip dan model pengembangannya). Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Darmanto, Jatman. 1985. Sastra, psikologi, dan masyarakat. Bandung: Alumni.

Fananie, Zainuddin. 2000. Sastra (Ideologi, Politik, dan Kekuasaan). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Jabrohim, Daam. 1965. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koeswara, E. 1986. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Nawang, Adnan. 2007. Za’ba dan Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Pendidikan Sultan Idris.

Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Omar, Haji Asmah. 1985. Perencanaan Bahasa dengan Rujukan Khusus kepada Perancangan Bahasa Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, metode, dan teknik penelitian sastra (dari strukturalisme hingga postrukturalisme, perspektif wacana naratif). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.

Sudjiman, P. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.

Supratiknya, A. 1995. Beberapa Pemikiran Rokeach Tentang Keyakinan, Sikap dan Nilai. Dalam Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Interfidei.

Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Verhaar, J.M.W. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: UGM Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: Gramedia.